BANDUNG, (PRLM).- Dua merk obat untuk substitusi para pecandu narkoba, subutex dan suboxone, sudah tidak bisa diperoleh lagi karena impornya dihentikan. Akibatnya, para pecandu yang sedang dalam proses penyembuhan dengan menggunakan subutex atau suboxone terancam risiko untuk kembali lagi menggunakan obat jalanan semacam putaw.
Dari diskusi dengan para relawan dari Rumah Cemara, Selasa (20/7) di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, terungkap, dengan dihentikannya impor subutex dan suboxone, para pecandu yang sedang menjalankan terapi dengan menggunakan subutex atau suboxone bisa kehilangan pengganti obat kecanduan mereka. Dikhawatirkan, mereka yang sedang menjalani proses penyembuhan itu tidak akan kuat mengatasi rasa sakit dari kecanduannya, dan dengan mudah akan kembali lagi menggunakan putaw atau obat jalanan lainnya.
Dari diskusi itu juga terungkap, bahwa mereka yang sedang menjalani terapi dengan menggunakan subutex atau suboxone tidak akan mudah untuk beralih ke terapi metadon. Pasalnya, akan muncul beberapa efek samping terhadap tubuh mereka, misalnya muntah-muntah dan kejang.
Dikonfirmasi secara terpisah, Media Officer Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Jabar, Tri Irwanda, membenarkan adanya penghentian impor obat substitusi oral dengan merk dagang subutex dan subuxone. Tri juga mengatakan, pernah mendengar bahwa mereka yang sedang dalam terapi menggunakan subutex atau subuxone akan menghadapi kesulitan dalam peralihan ke terapi metadon, karena efek samping terhadap tubuh. "Tetapi untuk kepastiannya lebih baik ditanyakan ke dr. Teddy Hidayat (kepala Program Terapi Rumatan Metadon RSHS -red)," kata Tri.
Saat dikonfirmasi melalui telefon, dr. Teddy Hidayat membenarkan penghentian impor subutex dan suboxone. Pasalnya, kata Teddy, pemerintah mengeluarkan undang-undang baru tentang narkotika, yaitu UU No. 35 tahun 2009 menggantikan UU No. 22 tahun 1997.
Di dalam UU No.35 tahun 2009, zat buprenorphine oral seperti yang digunakan oleh merk dagang subutex dan suboxone dimasukan ke dalam kategori narkotika. Sedangkan sebelumnya, di UU No. 22 tahun 1997, buprenorphine oral dikategorikan sebagai psikotropika. "Karena masuk di dalam kategori narkotika, maka yang berwenang mengimpornya hanya PT Kimia Farma, sedangkan subutex dan subuxone diimpor oleh Schering Plough Indonesia. Dengan perubahan kategori itu, saya tidak tahu apakah Kimia Farma mau mengimpor subutex atau tidak," kata Teddy.
Namun demikian, Teddy membantah jika para pecandu yang sedang terapi dengan menggunakan subutex atau suboxone akan kesulitan untuk beralih ke metadon. Malah sebaliknya, Teddy menganjurkan mereka untuk beralih ke terapi metadon, karena lebih aman dan legal.
"Sebenarnya banyak orang di kelompok terapi subutex yang menyalahgunakan obat itu. Seharusnya subutex atau suboxone digunakan dengan disimpan di bawah lidah, tapi banyak yang malah menggunakannya dengan cara disuntik. Itu artinya mereka yang menggunakan subutex belum benar-benar ingin sembuh. Sedangkan yang di kelompok terapi metadon, mereka lebih stabil dan ingin sembuh. Jadi saya anjurkan mereka untuk beralih ke metadon, daripada kembali lagi menggunakan putaw," jelas Teddy. (A-132/A-147)***